Bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia. Bulan yang penuh keberkahan dan setiap amala kebaikan akan diperlipat gandakan. Dalam bulan suci ini, umat muslim diwajibkan untuk berpuasa, selain menahan lapar dan haus juga diwajibkan untuk menahan hawa nafsu.
Namun, bagaimana jadinya jika dibulan yang suci ini ada yang berpacaran? Beberapa orang menggapnya adalah suatu hal yang wajar. Akan tetapi bagimana hukum pacaran saat puasa menurut islam?
Seperti yang sudah Kamu pelajari di sekolah atau madrasah, ketika puasa Kita diwajibkan menahan hawa nafsu. Bagi suami-istri saja tidak boleh melakukan sesuatu yang mengundang syahwat apalagi pasangan muda mudi yang berpacaran.
Hukum pacaran saat puasa jelas sekali haram, tidak diperbolehkan. Bahkan dapat mengurangi atau membatalkan puasa yang sedang Kamu jalani.
Sungguh merugi sekali orang yang berpacaran saat puasa. Padahal hukum pacaran dalam islam saja sudah jelas tidak diperbolehkan, apalagi hukum berpacaran saat puasa.
Sebenarnya dalam al-Quran dan hadis yang disebutkan bukan pacaran tetapi menyebut dilarangnya zina dan segala sesuatu yang mendekati zina. Mungkin Kamu bertanya-tanya, apakah pacaran termasuk zina?
Pada dasarnya pacaran bukanlah zina, pacaran suatu hal yang merujuk pada perbuatan zina. Lalu, bagaimana dengan pacaran yang tidak melakukan hal-hal tersebut? Yang namanya pacaran, diawal pasti hanya ngobrol, berduaan. Tetapi lama-lama juga akan berpegangan tangan, berpelukan, ciuman, galau dan seterusnya.
Jadi sama saja bukan? Alangkah baiknya Kamu menghindari perbuatan tersebut, terutama di bulan suci ramadhan. Agar puasamu tidak rusak karenanya dan pahala puasa yang seharusnya kamu dapatkan tidak hilang sia-sia.
Mala ‘Ali Al-Qori berkata: “ Ketika berpuasa begitu keras larangan untuk bermaksiat. Orang yang berpuasa namun melakukan maksiat sama halnya dengan orang yang berhaji lalu bermaksiat, yaitu pahala pokoknya tidak batal, hanya kesempurnaan pahala yang tidak Ia peroleh. Orang yang berpuasa namun bermaksiat akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang Ia lakukan.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, 6/308)